Jumat, 25 April 2014

Hukum menikah itu berbeda-beda bagi setiap orang karena tergantung pada kondisi seseorang, berikut ini kami uraikan rincian hukum-hukum menikah sebagaimana telah ditetapkan oleh para ulama’;
     1.  Wajib
     Hukum menikah adalah wajib bagi orang  yang mengkhawatirkan dirinya jatuh kepada perzinaan jika ia tidak menikah, dengan syarat ia sudah mempunyai biaya yang cukup untuk menikah dan membina rumah tangga.
     2. Sunah
     Orang  yang sudah memiliki hasrat untuk menikah dan ia juga memiliki biaya pernikahan, namun tidak dikhawatirkan melakukan perzinaan apabila tidak menikah, maka dalam keadaan ini ia dianjurkan untuk menikah.
     Ketentuan hukum ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam;

يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ، مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ، وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ، فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ

“Hai kaula muda, barangsiapa diantara kalian mampu nafqah lahir-batin maka hendaklah menikah, karena menikah itu lebih memejamkan mata dan lebih menjaga kelamin. Namun barangsiapa tidak mampu naqkah lahir-batin maka berpuasalah, karena berpuasa bisa menjadi kendali syahwat.” (Shahih Bukhari, no. 5065 dan Shahih Muslim, no. 1400).
      3. Khilaful Aula (lebih baik jika tidak dikerjakan)
      Bagi orang yang memiliki hasrat untuk menikah, namun dirinya tidak memiliki biaya pernikahan, maka hukum menikah baginya adalah khilaful aula, dalam arti orang tersebut lebih baik bekerja untuk mencari kebutuhan yang diperlukan dulu, baru setelah itu menikah, selama ia belum memiliki biaya menikah untuk meredam syahwatnya hendaknya ia memperbanyak melakukan ibadah dan puasa.
      Hukum ini didasarkan pada pemahaman dari hadits-hadits yang menganjurkan menikah, seperti hadits diatas dan juga berdasarkan firman Allah;

وَلْيَسْتَعْفِفِ الَّذِينَ لَا يَجِدُونَ نِكَاحًا حَتَّى يُغْنِيَهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ

“Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya.” (QS. An-Nur : 33).
      4. Makruh
      Menikah makruh hukumnya bagi orang yang tidak memiliki hasrat untuk menikah, semisal karena penyakit yang diderita, dan ia juga tidak memiliki biaya menikah. Dalam keadaan ini orang tersebut dianjurkan untuk menyibukkan dirinya dengan ibadah an hal-hal yang bermanfaat lainnya, seperti belajar atau menyebarkan ilmu, dll.
      5. Haram
      Adakalanya nikah hukumnya haram, yaitu bagi orang yang merasa bahwa dirinya tidak akan mampu untuk memenuhi kewajibannya sebagai seorang suami, atau bagi seorang lelaki yang berkeinginan untuk menikah lagi (berpoligami) namun ia tahu bahwa dirinya tidak akan mampu memenuhi hak-hak istrinya dan tidak mampu bersikap adil kepada mereka.
      6. Mubah
     Menikah hukumnya mubah bagi orang yang sudah memiliki biaya, namun ia belum/tidak berhasrat untuk menikah. Dalam keadaan ini adakalanya lebih baik membujang dan adakalanya lebih baik menikah, ketentuannya sebagai berikut:

•    Apabila orang tersebut masih disibukkan dengan belajar atau beribadah, maka lebih baik jika ia tidak menikah, karena jika sudah menikah ia taka akan bias berkonsentrasi belajar atau beribadah karena disibukkan dengan urusan rumah tangga.

•    Apabila orang tersebut sudah tidak disibukkan dengan menuntut ilmu dan beribadah, maka lebih baik ia menikah, agar ia tak terjerumus kepada hal-hal yang buruk dan juga dengan menikah ia akan mendapatkan keturunan dan juga membawa beberapa kemaslahatan.

     Dari uraian mengenai hukum menikah diatas, tentunya sudah bisa dipahami pula bagaimana hukum membujang. Wallahu a’lam.


Referensi:
1. Syarah Yaqut An-Nafis (Cet. Dar al-Minhaj) hal.581-582

واختلف العلماء في النكاح هل هو مباح او مندوب ؟
بعضهم قال : انه مباح مثل بقية المباحات مما يستمتع به الانسان
وقال بعضهم : انه مندوب ، وذلك للآيات والآحاديث الواردة في الحث عليه
وتعتريه الأحكام الخمسة : قد تجب ، وقد يحرم ، وقد يندب ، وقد يكره ، وقد يباح ، وذلك لعارض
وقد يقول القائل : مثى يحرم الزواج ؟
يحرم اذا شعر من نفسه انه لن يستطيع ان يقوم بحق الزوجية ، او من يريد ان يثني او يثلث او او يربع ، وقد علم من نفسه انه لن يستطيع ان يقوم بحقوقهن ولا يعدل بينهن . فيحرم عليه الزواج حينئذ
ويجب على من خاف على نفسه الوقوع في الحرام ولديه المؤنة الكافية
وقالوا : انه سجب على من طلق احدى زوجاته وعليه حق القسم لها ، ولا يستطيع الوفاء به – اذا لم تسامحه – الا بالعقد عليها مرة ثانية – اذا انفضت عدتها ان لزمت – ليعيد لها القسم
ويندب لمن له شهوة يستطيع مقاومتها وعنده المؤونة ، فيستحب له النكاح ، ويكره لمن فقدهما ، ويباح للمستلذ

2. Al-Fiqh al-Manhaji, juz 4 hal. 14 - 17

للنكاح أحكام متعددة، وليس حكما واحدا، وذلك تبعا للحالة التي يكون عليها الشخص، وإليك بيان ذلك
مستحب : وذلك إذا كان الشخص محتاجا إلى الزواج: بمعنى أن نفسه تتوق إليه، وترغب فيه، وكان يملك مؤنته ونفقته، من مهر، ونفقة معيشة له ولزوجته، وهو في نفس الوقت لا يخشى على نفسه الوقوع في الفاحشة إن لم يتزوج. ففي هذه الحالة يكون النكاح مستحبا، لما فيه من بقاء النسل وحفظ النسب، والاستعانة على قضاء المصالح. ويستدل لذلك بحديث البخاري ومسلم: عن عبدالله بن مسعود - رضي الله عنه - قال: كنا مع النبي - صلى الله عليه وسلم - شبابا لا نجد شيئا، فقال لنا رسول الله - صلى الله عليه وسلم -: " يا معشر الشباب من استطاع منكم الباءة فليتزوج، فإنه أغض للبصر وأحصن لفرج، ومن لم يستطع فعليه بالصوم، فإنه له وجاء
مستحب تركه (أي مكروه وفعله خلاف الأولى): وذلك إذا كان محتاجا للزواج، لكنه لا يملك أهبة النكاح ونفقاته.
وعليه في هذه الحالة أن يعف ويستعين على ذلك بالعبادة والصوم، لأن الانشغال بالعبادة والصوم، يشغله عن التفكير في الزواج، واستشارة الرغبة فيه، ريثما يغنيه الله من فضله. ودليل ذلك قوله تعالى: {وليستعفف الذين لا يجدون نكاحا حتى يغنيهم الله من فضله } (النور: 33). ويفهم هذا الحكم أيضا من مفهوم قول النبي - صلى الله عليه وسلم -: " من استطاع منكم الباءة فليتزوج " فإنه إذا لم يملك الباءة كان ترك الزواج مستحبا له
مكروه: وذلك إذا كان غير محتاج إلى الزواج: كأن لا يجد الرغبة فيه، أما فطرة، أو لمرض، أو علة، ولا يجد أهبه له، وذلك لما فيه من التزام مالا يقدر على القيام به، لأن النكاح يترتب عليه المهر، والنفقة، وهو لا يقدر على ذلك، فيكره النكاح له
الأفضل تركه: وذلك إذا كان يجد الأهبة، ولكنه ليس محتاجا إلى النكاح، لأن نفسه لا تتوق إليه، وكان منشغلا بالعبادة، أو منقطعا لطلب العلم، فإن التفرغ للعبادة وطلب العلم أفضل من النكاح في هذه الحالة، لأن النكاح ربما يشغله عن ذلك.
الأفضل فعله: فإذا كان ليس منشغلا بالعبادة، ولا متفرغا لطلب العلم، وهو يجد الأهبة للنكاح، لكنه غير محتاج إليه، فالنكاح في هذه الحالة أفضل، حتى لا تقضي به البطالة والفراغ إلى الفواحش، وبالزواج يحصل له الاستعانة على قضاء المصالح، وإنجاب الذرية، وزيادة النسل
Posted by Uswah On 11:21 PM No comments

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan Ajukan Pertanyaan atau Tanggapan Anda, Insya Allah Segera Kami Balas

  • RSS
  • Delicious
  • Digg
  • Facebook
  • Twitter
  • Linkedin
  • Youtube